Pada masa itu, belum ada pemerintahan yang terpusat di Tojo. Warga masih hidup di bawah kelompok- kelompok kesukuan yang terpisah. Tojo baru menjadi kerajaan terpisah dan terpusat setelah kedatangan orang Bone. Inilah yang menjadi alasan mengapa Tojo juga disebut Bone Ca’di (Bone Kecil). Menurut cerita rakyat, Kerajaan Tojo didirikan oleh Pilewiti yang berasal dari Bone, Sulawesi Selatan.
Setelah menjadi raja, Pilewiti menyandang gelar Raja Andi Ahmad Lacuku. Pilewiti pada mulanya adalah salah seorang putra Raja Bone yang selalu merantau guna mencari ikan. Suatu ketika, Talamoa atau “orang yang turun dari langit” berniat mencari raja bagi daerah Tojo.
Saat itu, di Tojo belum mempunyai raja, dan kawasan tersebut diperintah oleh empat orang kepala suku, yakni Talamoa yang menguasai Kuala Malei hingga Kuala Tojo; Tajongga yang menguasai Tumora hingga Kuala Malei; “Mpapo” yang memimpin kawasan Kuala Tojo hingga Kuala Bongka; dan “Ballo” yang menguasai Kuala Bongka hingga Kuala Balinggara.
Niat Talamoa mencari raja bagi Tojo dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat yang saling membunuh satu sama lain. Ia lalu mendatangi Raja Bone guna meminta salah seorang kerabatnya agar bersedia menjadi Raja Tojo. Raja mengusulkan Pilewiti, anaknya yang sedang mencari ikan di pesisir Teluk Tomini. Talamoa mencari dan menemukan Pilewiti serta mengajaknya ke Tojo.
Pilewiti lalu menetap di daerah Ampana dan menjadi Raja Tojo yang pertama. Nama Pilewiti sendiri berarti 'Yang Telapak Kakinya Menghadap Ke Atas'. ia dilahirkan 1677 di Bone dan memerintah 1770–1778. Pengganti Pilewiti berbeda-beda menurut berbagai sumber yang ada. Berdasarkan salah satu sumber, pengganti Pilewiti adalah putranya dengan Romelino yang bernama La Saerah.
Semasa pemerintahannya diangkat para pembantu raja, hakim, pengawal, dan penguasa-penguasa setempat. Sementara itu, sumber berikutnya menyebutkan pengganti Pilewiti adalah Andi Latondrong. Sumber lain mencatat bahwa setelah Pilewiti mangkat, para kepala suku–dengan seizin Talamoa–menghadap seorang tokoh bernama Lapangandro (Lapangandong) yang berkedudukan di Vinangalimba guna dijadikan Raja Tojo.
Oleh karena itu, menurut sumber tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah Pilewiti mangkat, pusat pemerintahan dipindahkan ke Vinangalimba. Sementara itu, masih ada sumber lain yang menyebutkan bahwa Pilewiti digantikan oleh Payulembah.
La Saerah berkuasa hingga 1860. Penggantinya adalah cucu perempuannya yang bernama Paletey. Ratu Paletey digantikan oleh Taroe Mbulawa yang merupakan putri Hamida (salah seorang putri La Saerah) dengan Mohammad Nur Daeng Sitaba. Semasa pemerintahannya berlaku penataan birokrasi kerajaan. Pemimpin tertinggi kerajaan Tojo adalah seorang raja yang bergelar tua mokole.
Raja dibantu oleh seorang raja laki-laki yang bernama Rantelero dengan gelar mokole maeta. Diangkat pula dua orang perdana menteri yang masing-masing mewakili raja di dua wilayah kerajaannya. Perdana menteri pertama, Mokole Mabuya, adalah adik kandung Rantelero yang membawahi daerah antara Sungai Bongka hingga Ujung Pati-Pati di timur Luwuk.
Sementara itu, sebagai patih kedua diangkat Bisalemba yang bergelar Papa Bora. Ia adalah saudara sepupu Paletey. Kerajaan Tojo juga dibagi menjadi beberapa wilayah kesukuan, yang jumlahnya kurang lebih ada delapan, yaitu
• Suku Lalaeo yang dipimpin Tauligi
• Suku To Raoe yang dipimpin Tamoimba
• Suku Morompa yang dipimpin Medopa
• Suku Kamudo yang dipimpin Mawomba
• Suku Lage yang dipimpin Nggoe
• Suku Matako yang dipimpin Pedengke
• Suku Poso yang dipimpin Taurungi (gelar Ngkai Besi)
• Suku To Raoe yang menempati kawasan Ncinili, dipimpin Kumora (gelar Papa Jamita).
Raja mengangkat seorang hakim bernama Malulua dengan gelar Papa Misu yang dibantu oleh Nggowe. Taurungi, Raja suku Poso diangkat pula sebagai pengawal raja. Sebagai panglima perang diangkat Kolomboy, yang merupakan putra Rantelero. Kini akan ditelusuri silsilah raja-raja Tojo berdasarkan berbagai sumber lainnya
Andi Latondrong yang menurut salah satu sumber disebutkan sebagai pengganti Pilewiti memiliki putri bernama Remelino. Putrinya lantas menikah dengan Abu Saleh dan dikaruniai beberapa orang anak yang masing-masing bernama Lariwu, Sombalore, dan Payasoe. Sumber lainnya menyebutkan bahwa Andi Latondrong memiliki anak bernama Remelino dan Laraja. Remelino (1816–1836)419 kemudian menjadi penguasa Tojo berikutnya. Laraja memiliki putri bernama Tuduntaka.
Sombalore menikah dengan Rontoboroe yang masih keturunan Raja Bugis dan berputra Kolomboy (Kolomboi). Kolomboy menikah dengan Tuduntaka, tetapi pernikahan ini tak dikaruniai keturunan. Kolomboi menikah lagi dengan Daemanota yang masih kerabat Kerajaan Sigi Dolo. Putranya adalah Tanjumbulu yang kelak terkenal sebagai pejuang gigih menentang kekuasaan penjajah.
Oleh karenanya, Raja Tanjumbulu masih mempunyai ikatan persaudaraan dengan Lamakarate, Raja Sigi Dolo saat itu. Daftar raja-raja penguasa Tojo antara Remelino dan Kolomboy di buku Sejarah Tojo Una-Una, halaman 150, adalah Andi Lamatanay (1837–1856), Andi Laradja (1857–1872), Andi Baso (1873–1882), dan Lariwu atau La Ro’e (1883–1898). Selanjutnya, baru berkuasa Kolomboy (1899–1906).
Komentar
Posting Komentar