Togean Project - Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, masyarakat Sulawesi Tengah, baik di Poso, Mori, Napu, Besoa, Lore, maupun Bada, meyakini adanya kekuatan gaib yang dipercayai menguasai hidup manusia yang disebut halaik. Kekuatan ini diyakini sanggup menentukan kehidupan manusia.
Selain itu, mereka juga menghormati arwah nenek moyangnya beserta dewa-dewa dan roh, seperti Pue mPalaburu (roh pencipta yang bersemayam di tempat terbit serta terbenamnya matahari), Lasaeo (roh yang memperkenalkan tanaman padi kepada manusia), Rongga (roh yang mendatangkan keberuntungan), Waringin (roh penguasa hutan), dan lain sebagainya.
Di samping itu, mereka mengenal pula apa yang dinamakan Lai (roh penguasa langit) dan Ndara (roh penguasa bumi). Fenomena-fenomena alam seperti guntur, hujan lebat, banjir, gempa, dan lain sebagainya, dianggap sebagai manifestasi amarah kedua jenis kekuatan ini. Oleh karena itu, untuk menenangkan kedua kekuatan di atas perlu dilakukan berbagai upacara ritual yang dipimpin para sando.
Belum ada data sejarah yang pasti mengenai masuknya agama Islam ke daerah Sulawesi Tengah, tetapi berdasarkan arsip-arsip Belanda dan sumber-sumber lisan, dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Poso melalui tiga sumber, yakni melalui para pedagang Bugis, penagruh Kesultanan Ternate, dan orang-orang Arab. Meskipun demikian, para pedagang Bugis lebih banyak mengajarkan huruf-huruf Alquran dengan ejaan Bugis.
Arsip Belanda yang berjudul Mededeelingen van Het Bureau Voor de Bestuurzaken de Buitenbezettingen menyebutkan bahwa masuknya agama Islam yang dibawa oleh para pedagang Bugis ke daerah Bungku, Mori, Tojo Una-Una, dan pesisir Poso berlangsung pada akhir abad 16. Para pedagang Bugis tersebut merupakan peletak dasar bagi tersebarnya agama Islam di Sulawesi Tengah, walaupun perkembangannya setelah itu masih dapat dikatakan lambat.
Sumber berikutnya adalah Kesultanan Ternate yang melebarkan pengaruhnya hingga ke kawasan itu, terutama semasa pemerintahan Sultan Hairun. Tokoh penyebar agama Islam pertama di Bungku adalah Datu Maulana Bajo Johar atau Syekh Maulana. Selanjutnya, penyiaran agama Islam diteruskan oleh Kasili, seorang pedagang rotan dari Ternate, dibantu oleh Merodong, mubalig setempat yang mahir berbahasa Arab serta sanggup meyakinkan masyarakat.
Kasili pernah mengenalkan agama Islam kepada raja-raja Bungku, seperti Abdul Wahab (meninggal di Mekah), Ahmad Haji, dan Abdul Razak. Di Bungku dapat pula disaksikan masjid tua yang telah berusia sekitar 300 tahun dan diperkirakan seusia dengan kerajaan tersebut.
Penyebar agama Islam dari Arab adalah Sayid Idrus bin Salim Aldjufrie, yang lahir pada 1880 di Hadramaut, Yaman. Ia merupakan putra Salim bin Alawy yang merupakan seorang ulama besar. Pada 1929, Sayid Idrus tiba di Wani dan hendak membuka sebuah madrasah di sana, tetapi upaya ini ditentang oleh pemerintah Belanda sehingga akhirnya ia beralih ke Palu.
Penyebar agama Islam yang terkenal di Buol adalah Sayid Zen Al-Idrus dan Syarif Ali yang menikah putri bangsawan Buol bernama Saeran. Putranya yang terkenal adalah Syarif Mansur. Ia juga giat menyiarkan agama Islam dan pernah berangkat ke Manado untuk menentang pembayaran pajak kepada pemerintahan kolonial Belanda.
Penulis:
Abdul Rahis Hisan
Referensi:
Buku “Ensiklopedia Kerejaan-Kerajaan Nusantara” Jilid 2 karya Ivan Taniputera
Support By:
Togean Project
Official Account:
Facebook: Togean Project
YouTube: Togean Project
Instagram: @togean_project
TikTok: togean_project
Blog: togeanproject.blogspot.com
Email: togeanproject@gmail.com
Komentar
Posting Komentar